Selasa, 20 Januari 2009

Cerpen : Adam-ku Sayang

ADAM-KU SAYANG

Happy birthday Adam….

Sebuah kalimat terpahat di dinding pada salah satu sisi rumah. Di sisi yang lain juga terdapat coretan-coretan yang meskipun terkesan berantakan tapi kalau diperhatikan sebenarnya menarik juga. Di bawah coretan-coretan itu terdapat beberapa bangku dan sebuah meja. Hari ini ruang ini khusus didekorasi untuk merayakan ulang tahun sahabat kami. Terlihat balon dan pita berwarna warni. Bila kita masuk lebih dalam, pada ruangan selanjutnya ini akan kita temukan coretan-coretan yang jauh lebih berantakan dan urgh … sulit menggambarkannya. Selain sebuah busa yang lumayan lebar, terdapat sebuah meja tempat TV dan DVD. Di sampingnya sebuah rak tempat koleksi kaset dan film, serta beberapa buku. Pada salah satu sudut terdapat sebuah pintu rahasia menuju ruangan bawah tanah yang terlarang. Hanya orang-orang tertentu yang boleh menjamahnya. Sebuah ruangan yang menyimpan benda-benda pribadi, juga untuk rapat. Rumah mungil ini yang telah beralih fungsi menjadi sebuah markas besar ‘The Eternity Gank’.

Sebelumnya, flash back kebeberapa tahun yang lalu. Empat orang remaja tengah membuat suatu perjanjian. Dimana masing-masing dari mereka akan saling menyayangi, saling menjaga, dan saling menerima. Mereka menamai dirinya ‘4ever’. Salah satu anggotanya yang merupakan pentolan 4ever adalah Amri, seorang pria ja’im yang selalu menjaga kewibawaannya. Dibawanya pula kekasih hatinya, Sierra dalam gank ini. Seorang pria lagi Toto, super rame dan super kocak. Dan terakhir seorang gadis yang begitu mencintai dunia sastra. Yaitu aku. 4ever berjalan biasa saja selama lebih dari satu tahun ini. Hingga kemudian masuklah seorang pria lagi dengan postur tubuh extra. Namanya Bono. Bono yang mengenalkan kami dengan seorang pria misterius yang terkesan angkuh. Awalnya dia menolak masuk 4ever, tapi pria pindahan dari Manado itu akhirnya terbujuk. Dialah seorang Adam. Semakin hari Adam semakin dekat dengan kami, semakin berani terbuka dan semakin sering melukiskan senyum memamerkan lesung pipi yang menawan. Diajarkannya pada kami arti sahabat yang sebenarnya, bagaimana menjalani dan mengisi kehidupan dan mengajarkan kami tentang keabadian.

Suatu hari di ruang bawah tanah, kami para wanita tengah membersihkan barang-barang yang telah terbengkalai selama beberapa minggu ini. Tiba-tiba, gubrakk!

“Ya ampun Bon, lu kenapa nungsep gitu?”

“Ni tangga sempit amat she.”

“Ya lu nyalahin tangganya, badan lu tuh kegedean!” Toto mencoba menarik lengan Bono, membantunya bangkit. Tapi kemudian, gedebug brakk!! Keduanya saling tindih di anak tangga paling bawah. Sierra yang sedari tadi menyaksikan tragedi itu meledak tak kuat lagi menahan diri, lantas terbawa selepasnya. Mengundang anak-anak yang lain. Amri menggeleng-geleng di anak tangga pertama, sedangkan Adam mulai turun membantu keduanya. Entah apa tujuan awal Bono dan Toto mengeluarkan cairan berwarna merah hati, mengundang perhatian Sierra.

“Dahi kamu berdarah tuh, To. Am, kotak obat aku pindahin di bawah meja TV.” setelah mengangguk Amri membantu keduanya kembali beserta Adam yang sempat menoleh ke arahku. Dan kami kembali dengan kesibukan kami. Barang-barang disini mudah kotor karena debu, dan yang paling rajin membersihkannya adalah aku. Sierra bersedia membantu kali ini karena ada yang ingin dia ceritakan padaku yang telah bertahun-tahun menjadi pendengar setia segala curhatannya. Dan saat ia mulai melanjutkan ceritanya, terdengar serunya Amri dari atas.

“Ra, kotak obatnya mana? Nggak ketemu ne.”

“Urgh, bentar ya Ras.” Sierra menyandarkan sapu di dinding, kemudian berlari kecil menaiki satu per satu anak tangga. Sunyi benar ruangan ini, saat hanya ada satu nyawa tengah sibuk mengusir debu. Saat aku membalikkan badan setelah urusanku dengan sebuah gucci selesai, aku tersentak dan hampir saja berteriak. Betapa pelan dan tenangnya sosok itu masuk kemari. Hingga aku sama sekali tidak menyadari kedatangannya.

Ada yang bisa aku bantu?”

“Aku bisa sendiri kok. Aku nggak mau ngrepotin kamu.”

“Eh, Ras. Dengerin aku deh, yang namanya temen apalagi se-gank semua hal dikerjakan bersama. Jadi sudah seharusnya kalau kita tuh saling batu.” Aku tersenyum mendengar rentetan kalimatnya.

“Ras, sebenarnya kamu tuh kalau senyum manis juga lho. Harusnya kamu lebih banyak senyum daripada murung. Biar kamu bisa nambah temen.”

“Enak aja, kamu pikir aku nggak punya temen apa?! Sebenarnya temenku banyak, Cuma kamu aja yang nggak tau.”

Jauh dari perkiraanku sebelumnya, ternyata Adam pria yang baik, sopan dan supel. Hanya aku saja yang belum begitu memahaminya.

Jarum jam terpendek telah bergeser satu angka, saat kami para 4ever berkumpul di ruang bawah tanah. Amri sang ketua segera membuka rapat. Dan pokok permasalahan kali ini adalah nama 4ever.

“Kalau dulu kan kita cuma berempat, jadi cocok sama 4ever. Tapi kita kedatangan dua anggota baru. Jadi diilhami dari usul saudara Toto, bagaimana kalau nama 4ever kita ganti? Dan kita cari nama baru untuk gank kita.”

Semuanya tentu setuju. Tapi masalahnya tidak gampang mencari nama baru yang cocok untuk kami. Meskipun muncul banyak ide, kebanyakan ngawur. Hingga haripun berganti.

“Am, emangnya namanya Burger aja. Burger itu begitu berarti, apalagi kalau dagingnya ditebelin, ditambah daun selada, trus sausnya yang puedes. Yummi, cocok banget Am.”

“Cocok buat lu. Nah kita? Ya sebenarnya nggak perlu pake bahasa inggris, tapi ya terserah deh. Mo pake bahasa Indonesia, Inggris, Jepang, Belanda, nggak masalah.”

“Asal bukan bahasa isyarat, iya nggak.” sekali Toto membanyol, seterusnya akan bermunculan banyolan yang lain. Dan ditengah guraukan mereka, muncul sebuah ide menarik dari seorang pria yang duduk di sampingku. Semuanya kembali hening.

“Gimana kalau namanya ‘Eternity’? eh bukan, ‘The Eternity Gank’ kami saling pandang lalu tersenyum.

Senja yang indah. Aku enggan melewatkannya. Dari belakang markas aku bisa menikmati pergantian siang menjadi malam indahnya. Tapi untuk senja kali ini, aku membagi kenikmatannya dengan seorang pria yang selama beberapa hari ini telah menempati ruang kosong dalam hatiku. Yang membantuku menemukan inspirasi untuk menulis. Dia membuatku semangat dan menjadi gadis periang hingga semua orang tidak akan lagi menganggapku kuper. Bahkan tidak hanya senja ini, di senja-senja yang lainpun aku rela jika harus membaginya kembali. Asal hanya dengan pria ini, Adam.

“Kamu suka banget ya, ngliatin warna langit sore begini?”

“He-eh. Aku suka banget. Dulu aku sering nulis disini, tapi sekarang aku disini Cuma sekedar nikmatin fenomena yang nggak bikin penikmatnya bosen. Kamu sadar nggak sih, itu tuh indah banget.” Dari sudut mataku aku lihat Adam memandangiku.

“Ras, makasih ya. Kamu dah nunjukin macam-macam hal menarik buat aku. Kira-kira apa yang bisa aku lakukan buat ngebales semua kebaikan kamu?”

“Eit, tunggu-tunggu. Kamu ni ngomong apa sih? Justru aku yang harusnya berterima kasih sama kamu.” Pria itu menatapku lekat. Seakan memamerkan satu lagi fenomena menarik yang dia punya. Lengkungan didahinya yang memukau. Dan aku melanjutkan kembali kata-kataku. Mencoba berusaha agar tidak terdengar bergetar, biar dadaku saja tak menentu iramanya.

“Ya karena secara tidak langsung kamu dah ngerubah kehidupan aku dan kamu juga yang ngasih warna pada hitam putih hariku. Sampai sekarang aku bisa nulis lagi.”

“Ya tapi coba kamu jawab dulu, hal apa yang lagi kamu pengen sekarang?” aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Kembali menerawang menikmati warna senja yang sebentar lagi akan hilang di ufuk barat sana. Aku tidak ingin apapun darinya. Aku hanya ingin dia menemaniku, bersamaku berbagi senja. Tapi…

“Kamu suka banget senja itu?” aku menoleh kearahnya, kemudian mengangguk. Adam tersenyum, bangkit dan mengambil sebuah gunting di saku jaketnya. Kemudian memainkannya di depan senja. Sesaat dia menoleh padaku yang termangu, setelah kembali duduk disampingku. Tiba-tiba direngkuhnya jemariku, ditaruhnya sesuatu dan digenggamkannya.

“Potongan senja ini khusus buat kamu. Kamu harus simpen baik-baik jangan sampai hilang.” mendengarnya barusan, aku semakin bingung.

“Ya emang abstrak, tapi justru itu nggak akan ada orang yang bisa ngambil ini dari kamu. Dan supaya nggak ada juga yang bisa ngambil kamu dari aku…” bagai menemukan oase di tengah gurun pasir. Seorang Adam, yang selama ini diam-diam aku kagumi. Bisa dibayangkan betapa kisruhnya hatiku. Rasanya dibagian yang terdalam ada yang tengah bersorak, melompat-lompat kegirangan. Apalagi setiap hari semakin dekat saja aku dengannya. Hingga ‘The Eternity Gank’ yang lain mulai mencium gelagat kami. Dan pada suatu hari di ruang bawah tanah. Telah diselenggarakan sidang paripurna dengan dua tersangka, yaitu aku dan Adam. Sudah bisa ditebak, apa yang mereka inginkan dengan diadakannya sidang dadakan ini. Penjelasan akan perasaanku dan Adam. Karena begitu lengkapnya bukti dan saksi mata, kami tidak mungkin lagi mengelak. Hingga tepat pada hari itulah untuk pertama kalinya aku mengutarakan perasaanku pada seorang pria. Tapi aku memang terlalu polos. Meski sudah terjadi perubahan tetap saja aku masih selugu yang dulu. Aku terlalu percaya diri bahwa Adam juga merasakan hal yang sama seperti aku. Ternyata jawabannya berbeda, dan sama sekali tidak pasti.

“Aku akan kasih kamu jawabannya, tapi nggak sekarang. Apa kamu mau nunggu?”

“Berbelit-belit amat she, Dam. Udah langsung aja, tinggal bilang iya tidak gitu doank repot amat. Mo nunggu sampai kapan, kasihan Laras tuh.”

“Ssst…sst…mesin giling. Diem!”

“Maafin aku, Ras. Aku Cuma mau kamu nunggu sampai aku balik dari Manado.”

Manado?” serempak kami tersentak.

“Aku lupa bilang sama kalian kalau besok aku balik ke Manado. Disana kakak perempuanku mau tunangan. Jadi ya nggak mungkin kalau aku nggak dateng.” Serempak kami menghela nafas panjang.

Pagi ini cerah. Aku enggan beranjak dari tempat tidur. Rasanya malas, setelah semalam pesta kembang api menyambut tahun baru. Apalagi untuk menyaksikan kepergian Adam. Sampai Toto menjemputku untuk upacara perpisahan di markas. Seakan tak tahan lagi mereka berlama-lama di pelupuk mataku, maka meneteslah satu demi satu. Tentu aku tidak siap melepas Adam, karena sebelumnya dia tidak pernah cerita apa-apa tentang keluarganya. Juga kakak perempuannya yang akan tunangan. Tapi aku sadar bahwa aku tidak berhak mencegahnya pergi. Kami, ‘The Eternity Gank’ mengantarnya sampai bandara, hingga sebuah mesin raksasa membawanya terbang jauh meninggalkan Surabaya. Untuk mempersingkat waktu Amri membawa kendaraan pribadi. Kurang lebih 20 menit kemudian kami sampai di Lanud Juanda. Tangan kirinya menjinjing sebuah tas lumayan besar. Dan tangan kanannya menggenggam jemariku. Aku diam, tak mampu berkata-kata. Ingin aku keluarkan sebuah pertanyaan, tapi tertahan ditenggorokan. Setalah berjalan beberapa saat, kami berhenti. Adam meletakkan tasnya begitu saja. Menatapku lekat, jauh lebih lekat dari sebelumnya saat kami menikmati senja di belakang markas. Argh..kenapa air mataku menetes lagi. Aku ingin menunjukkan kelemahanku dihadapannya. Tapi dia mengerti, dibenamkannya wajahku di dadanya yang bidang. Dan biarkan aku tenang dalam hangat dekapannya. Hingga tiba saatnya dia harus pergi.

“Kamu cengeng. Aku ja, kita sama. Maaf sepertinya aku menyiksamu, tapi hati kecilku menyuruhku begitu. Kamu sendiri yang bilang, kalau yang paling jujur adalah hati.”

“Aku ngerti. Aku akan nunggu kamu sampai kamu kembali.” dia tersenyum.

“Senja kita mana?”

Ada di saku jaketku.”

“Bagus. Simpan baik-baik, kita bisa kembali menikmatinya lagi nanti.” kami tersenyum. Layaknya sebuah kontes, mencari siapa yang punya lesung pipit paling indah. Dijabatnya erat satu demi satu ‘The Eternity Gank’ sebelum dia melangkah lagi. Di luar bandara kami dapat menyaksikan sebuah mesin raksasa bertittle Adam Air boeing 747 membawa Adam terbang menuju Manado, kota kelahirannya.

Dua hari setelah keberangkatan Adam. Suasana markas tidak lagi seperti dulu. Tak lagi kutemukan keceriaan khas ‘The Eternity Gank’. Entah apa yang disembunyikan teman-teman dariku. Semangat yang ada dalam diri mereka lenyap sudah. Yang aku lihat adalah orang-orang lemah yang terkulai tak berdaya. Apa mungkin mereka mengadakan puasa masal?

“Kenapa kalian?” tanyaku pelan. Membuat mereka saling pandang, dan Sierra malah menangis dipelukan kekasihnya.

“Ini nggak bisa didiemin. Laras harus tahu apa yang terjadi. Laras berhak tahu.”

“Bono benar, Am. Laras kan…”

“Oke oke. Laras akan segera tahu.” Amri bergeser duduk disampingku. Yang lain juga mendekatiku hingga aku bertambah bingung. Amri melanjutkan kalimatnya kembali. Yang terakhir, tepat pada kalimat yang terakhir. Aku baru sadar kenapa mereka berubah sedrastis ini.

“Kamu inget pesawat Adam Air yang terbang di atas kepalamu waktu kita keluar bandara setelah mengantar Adam, kan? Pesawat itu nggak sampai tujuan seharusnya. Pesawat itu lenyap entah kemana…”

“Ya, biarin aja yang penting Adam-ku nggak apa-apa kan? Yang penting Adam Cuma pulang sebentar untuk kakaknya, habis itu dia balik lagi kesini. Kita bisa bareng-bareng lagi. Dan…” aku sadar akan apa yang Amri katakan baru saja. Tapi aku ingin menepisnya. Saat pelukan Sierra makin kuat.

“Tolong cobalah menerima kenyataan. Kami hanya ingin kamu siap, kalau-kalau Adam tidak mampu menepati janjinya nanti. Kalau ingin jawaban darinya akan sangat terlambat. Dan kamu harus menunggu lebih lama lagi…” dibagian inilah. Aku mulai merasa seluruh tubuhku bergetar. Hingga semuanya berubah menjadi gelap.

Dua minggu lebih Adam menghilang entah kemana. Semua orang mencarinya juga orang-orang yang bernasib sama sepertinya. Hari ini Adam genap berusia 18 tahun. Semuanya sudah siap berpesta. Sengaja aku tidak pulang ke rumah. Aku ingin disini menunggu Adam. Siapa tau ada keajaiban hingga tiba-tiba dia muncul dari ruang bawah tanah. Satu harapanku, kuucapkan di bawah senja sembari mengenggam potongan senja yang pernah diberikannya. Andai Adam-ku selamat, segera kembalikan dia dalam pelukan kami. Dan andai sebaliknya, maka terimalah dia di tempat yang terindah. Seperti tempat yang dia huni tepat di hati kami. Amin.

16 Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar