Malam Seribu Bulan
Selasa, 20 Januari 2009
Cerpen : Malam Seribu Bulan
Biografi : JS Badudu
2) Membina Bahasa Indonesia Baku (2 jilid);
3) Bahasa Indonesia: Anda bertanya? Inilah jawabnya;
4) Ejaan Bahasa Indonesia;
5) Sari Kesusasteraan Indonesia untuk SMA (2 jilid);
6) Buku dan Pengarang;
7) Belajar memahami Peribahasa (6 jiIid);
8) Peribahasa;
9) Mari Membina Bahasa Indonesia Seragam (3 jilid); dan
10) Penuntun Ujian Bahasa Indonesia untuk SMP (Catatan: Buku no. 7 s.d. 10 tidak diterbitkan lagi).
Badudu juga pernah melakukan penelitian bahasa, antara lain:
1) Morfologi Bahasa Indonesia Lisan (Pusat Bahasa);
2) Morfologi Bahasa Indonesia Tulisan (Pusat Babasa);
3) Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an hingga tahun 40-an (Pusat Bahasa);
4) Buku Panduan Penulisan Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Pertama (Pusat Bahasa);
5) “Bahasa Indonesia di Daerah Perbatasan Bogor—Jakarta“ (Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung).
Sebagai pakar bahasa yang sangat berpengalaman, Badudu juga telah menyusun beberapa kamus, antara lain:
1) Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia;
2) Kamus Umum Bahasa Indonesia (Bedudu — Zain);
3) “Kamus Bahasa Indonesia untuk Pendidikan Dasar” (sedang diselesaikan);
4) “Kamus Kata-Kata Serapan Asing Bahasa Indonesia” (segera terbit).
Cerpen : Pengemis dan Shalawat Badar
Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesama penumpang tak perlu bersinggungan badan. Namun dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan dengan kipas koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk.
Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah membajing loncat ketika bus masih berada di mulut terminal. Bus menjadi pasar yang sangat hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking agar bisa mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau berbelanja. Seorang di antara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia-manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit.
Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah.
Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap di belakangku itu.
Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Dan tangannya menengadah. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengarkan baik-baik shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan kudengar sendiri ada lelaki membaca shalawat badar untuk mengemis.
Kukira pengemis itu sering mendatangi pengajian-pengajian. Kukira dia sering mendengar ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup baik dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti itu dia hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu adalah Shalawat Badar yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan tangan.
Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu.
Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan Shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada berbekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah" Sayangnya, aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu.
Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berte-riak kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin disel yang meraung-raung. Kudengar kedua awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang. Mereka terus bertengkar melalui kata-kata yang tak sedap didengar. Dan bus terus melaju meninggalkan terminal Cirebon.
Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang.
"He, sira! Kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?"
Pengemis itu diam saja.
"Turun!"
"Sira beli mikir! Bus cepat seperti ini aku harus turun?"
"Tadi siapa suruh kamu naik?"
"Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh."
Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam: "... shalatullah, salamullah, 'ala thaha rasulillah...."
Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutumpangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan.
Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar guntur meledak dengan suara dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa di antaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu tersandung dan aku jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lubang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali ke arah kota Cirebon.
Telingaku dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang ke arah timur itu: "shalatullah, salamullah, 'ala thaha rasulillah..."
Biografi : HB Jassin
H.B Jassin
Paus Sastra Indonesia
Begitu besarnya pengaruh HB Jasin di antara kalangan sastrawan, Gajus Siagian (almarhum) menjulukinya “Paus Sastra
Saat itu, ada beberapa pengarang yang lama berada di ‘kalangan luar’ sebelum akhirnya diakui masuk dalam ‘kalangan dalam’ seperti Motinggo Busye, Marga T yang aktif produktif mengarang, dan penulis novel-pop lainnya. Padahal karya-karya mereka cukup baik, berseni dan bernilai bernas. Mereka lama berada di ‘kalangan luar’ karena "pengaruh besar kepausan" HB Jassin. HB Jassin jugalah yang menobatkan Chairil Anwar sebagai pelopor Angkatan '45. Lebih dari 30 tahun, julukan itu disandangnya.
Jassin rajin dan tekun mendokumentasikan karya sastra, dan segala yang berkaitan dengannya. Dari tangannya lahir sekitar 20 karangan asli, dan 10 terjemahan. Yang paling terkenal adalah Gema Tanah Air, Tifa Penyair dan Daerahnya, Kesusasteraan Indonesia Baru Masa Jepang, Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (empat jilid, 1954-1967) dan tafsir Alquran dalam buku Qur'an Bacaan Mulia. Pada saat ulang tahunnya ke-67, PT Gramedia menyerahkan ''kado'' buku Surat-Surat 1943-1983 yang saat itu baru saja terbit. Di dalamnya terhimpun surat Jassin kepada sekitar 100 sastrawan dan seniman Indonesia.
Jassin memulai dan meneruskan kariernya dari banyak membaca. Lahir 31 Juli 1917 di Gorontalo, Sulawesi Utara, anak kedua dari enam bersaudara ini berayahkan seorang bekas kerani BPM yang ''kutu'' buku. Jassin mulai gemar membaca tidak lama setelah duduk di bangku HIS (SD). ''Waktu itu, cara membangkitkan minat baca murid sangat bagus,'' tuturnya tentang sekolah yang mengajarkannya teknik mengarang dan memahami puisi. Teknik mengarang dan memahami posisi sudah dipelajarinya sejak masih duduk di HIS (SD). Di HBS Medan -- saat ikut ayahnya yang pindah ke BPM Pangkalanbrandan, Sumatera Utara -- ia mulai menulis kritik sastra, dan dimuat di beberapa majalah.
Bekerja di kantor Asisten Residen Gorontalo seusai HBS -- tanpa gaji -- memberinya kesempatan mempelajari dokumentasi secara baik. Tetapi, belakangan Jassin menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana, waktu itu redaktur Balai Poestaka, bekerja di badan penerbitan Belanda itu, 1940. Di sana ia juga berkarya sebagai penulis cerpen dan sajak.
Tak lama kemudian ia beralih ke bidang kritik serta dokumentasi sastra. Adalah Armijn Pane yang mengajarinya membuat timbangan buku dengan lebih baik. Inilah awal jabatannya sebagai redaktur berbagai majalah sastra dan budaya, seperti Pandji Poestaka dan Pantja Raja, lalu setelah Indonesia merdeka, di Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra, Bahasa dan Budaya, Buku Kita, Medan Ilmu Pengetahuan, dan Horison.
Bekas Lektor Sastra Indonesia Modern Fakultas Sastra UI ini tetap belajar sambil mengajar. Gelar sarjana sastra diraihnya pada 1957, dan doktor honoris causa, delapan belas tahun kemudian -- keduanya di FS UI. Ia juga sempat mendalami ilmu perbandingan sastra di Universitas Yale, AS. Ia menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman.
Ada kisah unik saat ia menempuh pendidikan di UI. Saat itu, HB Jassin merangkap sebagai mahasiswa dan mahaguru sekaligus. Ketika kuliah sastra-lama, terutama mata pelajaran Jawa Kuno, Sanskerta, HB Jassin menjadi mahasiswa, tekun duduk bersama mahasisawa lainnya dan penuh perhatian pada matakuliahnya. Tetapi begitu berganti matakuliah Sastra Modern, Masa Kekinian, HB Jassin berdiri dan maju ke depan, berdiri di podium lalu memberi kuliah, karena memang sebagai doktor Sastra Modern.
Jadi dalam satu hari pada dua matakuliah, ia sekaligus bisa menjadi mahasiswa dan bisa menjadi mahaguru. Pada masa itu, orang seperti dia masih sangat langka. Ia memberikan teladan kepada para mahasiswa dengan rajin belajar, tekun, teliti dan sungguh-sungguh.
HB Jassin terbilang bukan orang yang ahli berdebat atau ahli berbicara di depan umum. Ia adalah orang yang menulis, berpikir lalu menuliskannya, tekun, rajin, dan berhati-hati. Seringkali saat diajak berdebat di depan forum resmi, ia tidak meladeninya. Karena itu pula pada banyak kesempatan pada beberapa kali simposium sastra-budaya, konggres, konferensi, seminar, dia selalu menolak untuk berbicara yang sifatnya akan ada perdebatan.
Pria yang tidak suka berdebat ini tidak bisa bersepeda. Ia lebih sering jalan kaki meski ada kalanya naik bis, becak dan kendaraan umum lainnya. Mungkin karena kebiasaannya itu ia panjang umur dan selalu dalam keadaan sehat pada zamannya.
''Wali Penjaga Sastra
Namun, HB Jassin mampu bersikap jujur. Mengomentari buku Pramudya Ananta Toer,
Cerpen Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, yang dimuat HB Jassin dalam Sastra, 1971, sempat dianggap ''menghina Tuhan''. Di pengadilan, ia diminta mengungkapkan nama Ki Panji Kusmin sebenarnya. Permintaan ditolaknya. Akibatnya, HB Jassin dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Kritik sastranya bersifat edukatif dan apresiatif serta lebih mementingkan kepekaan dan perasaan daripada teori ilmiah sastra. Hasil dokumentasinya lebih dari 40 tahun -- termasuk 30 ribu buku dan majalah sastra, guntingan surat kabar, dan catatan-catatan pribadi pengarang -- telah dihimpun dan disimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pria gemuk pendek ini menikah tiga kali. Istri pertama, Tientje van Buren, wanita Indo yang suaminya orang Belanda yang disekap Jepang, pisah cerai. Lalu Arsiti, ibu dua anaknya, meninggal pada 1962. Sekitar 10 bulan kemudian ia menikahi gadis kerabatnya sendiri, Yuliko Willem, yang terpaut usia 26 tahun. Yuliko juga memberinya dua anak. Dari kedua istri ini, ia memiliki empat anak, yakni Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Yulius Firdaus Jassin, Helena Magdalena Jassin, 10 orang cucu, dan seorang cicit.
Ia meninggal pada usia 83 tahun, Sabtu dini hari, 11 Maret 2000 saat dirawat akibat penyakit stroke yang sudah dideritanya selama bertahun-tahun di Paviliun stroke Soepardjo Rustam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sebagai penghormatan, ia dimakamkan dalam upacara kehormatan militer "Apel Persada" di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.
Apa Kata Mereka
Kalangan sastra melihat HB Jassin sebagai pendokumentasi sastra yang sangat ulung dan sangat tekun. Menurut pengarang Budi Darma, peran Jassin sangat penting apalagi mengingat masyarakat Indonesia yang abai terhadap soal-soal dokumentasi dan kesadaran sejarahnya sangat rendah. Akibatnya banyak yang cenderung mengulang-ulang. Tambahnya ketika dihubungi di Surabaya, "ia juga kritikus sastra formal yang pertama. Sebelumnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Armiyn Pane atau Amir Hamzah lebih banyak menulis puisi atau novel."
Penyair Sapardi Djoko Damono menilai, dewasa ini banyak orang sekaliber HB Jassin, bahkan melebihinya. "Tetapi orang yang setia pada sastra seperti Pak Jassin tidak ada lagi. Selama 60 tahun hanya itu pekerjaannya," ujar Sapardi yang pernah menjadi editor pada buku HB Jassin 70 Tahun, terbitan PT Gramedia tahun 1987.
Menurut sejarawan Taufik Abdullah, HB Jassin adalah tokoh yang luar biasa dalam bidang sastra karena bisa memperkenalkan sastra kepada anak muda tahun 1950-an, yang sulit ditemui pada zaman sekarang. Yang lebih penting lagi, HB Jassin adalah pemelihara dokumentasi sastra terpenting di Indonesia. Tambahnya, "Dengan itu kita bisa menulis lebih baik."
Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta Dr Salim Said berpendapat, HB Jassin adalah pencari bakat terbesar yang dimiliki Indonesia. Dia pula satu-satunya sastrawan Indonesia yang diakui pemerintah dalam bentuk anugerah Bintang Mahaputera, sehingga HB Jassin dimakamkan secara militer. Ia menilai HB Jassin banyak menemukan pengarang-pengarang muda berbakat yang dia dorong untuk menjadi pengarang.
Kalangan seniman yang lebih muda pun tetap merasakan jasa Jassin. Penyair Dorothea Rosa Herliany (37) yang ditanya di Magelang, Jawa Tengah, mengaku tersentuh oleh sikap Jassin yang dalam keadaan sakit masih memperhatikan cerpen-cerpen anak muda.
Kepada wartawan, Gus Dur berkata, "Saya dibesarkan dalam tulisan beliau di Mimbar Indonesia dan beberapa buku. Saya menghormati beliau, karena beliau adalah raksasa tempat kita berutang kepadanya." Gus Dur mengaku terkesan dengan tulisan asli HB Jassin berjudul Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei, yang pertama kali diterbitkan tahun 1954.
Dongeng : Putri Tidur
Putri Tidur
Sepuluh Strategi dalam Belajar
Sepuluh Strategi dalam Belajar
Dalam proses belajar, baik di tingkat sekolah dasar maupun sekolah lanjutan, pengaturan diri dalam belajar merupakan suatu pendekatan yang penting. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lingkungan pun tidak menjamin proses belajar dapat berjalan dengan baik, tanpa diiringi perilaku-perilaku yang dapat mendukung proses belajar. Jadi, dalam hal ini, pengaturan diri dalam belajar dipusatkan pada bagaimana para siswa secara aktif mengatur dan mendukung proses belajar sendiri.
Beberapa ahli psikologi telah melakukan srangkaian penelitian tentang penggunaan strategi-strategi pengaturan diri dalam belajar terhadap sejumlah siswa di tingkat dasar maupun lanjutan untuk menggali pengalaman mereka dalam menggunakan strategi belajar (penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode wawancara berstruktur). Dari hasil wawancara diperoleh berbagai strategi dalam belajar yang umumnya dilakukan para siswa, yaitu:
1. Evaluasi diri (penilaian diri)
Siswa mempunyaiprakarsa sendiri untuk menilai kualitas atau kemajuan pekerjaan mereka sendiri.
2. Mengorganisasi dan mengubah
Siswa mempunyai prakarsa sendiri untuk mengatur kembali bahan-bahan pelajaran untukmemperbaiki cara belajarnya sendiri.
3. Menentukan rencana dan tujuan.
Menentukan rencana dan tujuan yang menyangkut penentuan terget untuk melengkapi tugas/kegiatan belajar.
4. Mencari informasi
Usaha siswa untuk mendapatkan informasi dari suber-sumber nonsosial (tertuis) ketika mengerjakan tugas-tugas sekolah.
5. Mencatat dan memonitor
Usaha siswa untuk merekam kejadian-kejadian atau hasil-hasil belajar.
6. Mengatur lingkungan
Usaha siswa untuk memilih atau mengubah lingkungan belajar agar dapat belajar dengan baik .
7. Konsekuensi diri
Menunjuk pada rencana atau imajinasi siswa tentang hadiah atau hukuman yang akan diberikan untukkeberhasilan atau kegagalan didri sendiri.
8. Mengulang danmengingat
Usaha siswa untukmengingat bahan-bahan dalam bentuk latihan dalam hati maupun bukan.
9. Mencari bantuan
Usaha siswa untuk mencari bantuan dari teman sebaya, atau guru maupun orang dewasalainnya dalam kegiatan belajarnya.
10. Mereview/menelaah catatan/tes/bukupelajaran
Usaha siswa untuk membaca kembali catatan, tes yang sudah lalu, maupun buu-buku pelajaran untukmenghadapai pelajaran di kelas maupun untuk menghadapi ulangan.
Dengan menggunakan strategi-strategi belajar tersebut, diharapkan siswa dapat mencapai prestasi belajar yang optimal. Guru atau orang tua, sebagai pendidik dapat menerapkan strategi-strategi tersebut dalam proses belajar siswa melalui bimbingan secara bertahap. Dengan seringnya guru atau orang tua membimbing siswa / anak malakukan pengaturan diri dalam belajar, siswa atau anak akan terbiasa melakukan strategi belajar tanpa bimbingan lagi. Keadaan ini akan menguntungkan guru / orang tua maupun siswa sendiri dalam proses belajar mereka, sehingga siswa akan memperlihatkan potensinya yang maksimal.
Cerpen : Adam-ku Sayang
ADAM-KU SAYANG
Sebuah kalimat terpahat di dinding pada salah satu sisi rumah. Di sisi yang lain juga terdapat coretan-coretan yang meskipun terkesan berantakan tapi kalau diperhatikan sebenarnya menarik juga. Di bawah coretan-coretan itu terdapat beberapa bangku dan sebuah meja. Hari ini ruang ini khusus didekorasi untuk merayakan ulang tahun sahabat kami. Terlihat balon dan pita berwarna warni. Bila kita masuk lebih dalam, pada ruangan selanjutnya ini akan kita temukan coretan-coretan yang jauh lebih berantakan dan urgh … sulit menggambarkannya. Selain sebuah busa yang lumayan lebar, terdapat sebuah meja tempat TV dan DVD. Di sampingnya sebuah rak tempat koleksi kaset dan film, serta beberapa buku. Pada salah satu sudut terdapat sebuah pintu rahasia menuju ruangan bawah tanah yang terlarang. Hanya orang-orang tertentu yang boleh menjamahnya. Sebuah ruangan yang menyimpan benda-benda pribadi, juga untuk rapat. Rumah mungil ini yang telah beralih fungsi menjadi sebuah markas besar ‘The Eternity Gank’.
Sebelumnya, flash back kebeberapa tahun yang lalu. Empat orang remaja tengah membuat suatu perjanjian. Dimana masing-masing dari mereka akan saling menyayangi, saling menjaga, dan saling menerima. Mereka menamai dirinya ‘4ever’. Salah satu anggotanya yang merupakan pentolan 4ever adalah Amri, seorang pria ja’im yang selalu menjaga kewibawaannya. Dibawanya pula kekasih hatinya, Sierra dalam gank ini. Seorang pria lagi Toto, super rame dan super kocak. Dan terakhir seorang gadis yang begitu mencintai dunia sastra. Yaitu aku. 4ever berjalan biasa saja selama lebih dari satu tahun ini. Hingga kemudian masuklah seorang pria lagi dengan postur tubuh extra. Namanya Bono. Bono yang mengenalkan kami dengan seorang pria misterius yang terkesan angkuh. Awalnya dia menolak masuk 4ever, tapi pria pindahan dari
Suatu hari di ruang bawah tanah, kami para wanita tengah membersihkan barang-barang yang telah terbengkalai selama beberapa minggu ini. Tiba-tiba, gubrakk!
“Ya ampun Bon, lu kenapa nungsep gitu?”
“Ni tangga sempit amat she.”
“Ya lu nyalahin tangganya, badan lu tuh kegedean!” Toto mencoba menarik lengan Bono, membantunya bangkit. Tapi kemudian, gedebug brakk!! Keduanya saling tindih di anak tangga paling bawah. Sierra yang sedari tadi menyaksikan tragedi itu meledak tak kuat lagi menahan diri, lantas terbawa selepasnya. Mengundang anak-anak yang lain. Amri menggeleng-geleng di anak tangga pertama, sedangkan Adam mulai turun membantu keduanya. Entah apa tujuan awal Bono dan Toto mengeluarkan cairan berwarna merah hati, mengundang perhatian Sierra.
“Dahi kamu berdarah tuh, To. Am, kotak obat aku pindahin di bawah meja TV.” setelah mengangguk Amri membantu keduanya kembali beserta Adam yang sempat menoleh ke arahku. Dan kami kembali dengan kesibukan kami. Barang-barang disini mudah kotor karena debu, dan yang paling rajin membersihkannya adalah aku. Sierra bersedia membantu kali ini karena ada yang ingin dia ceritakan padaku yang telah bertahun-tahun menjadi pendengar setia segala curhatannya. Dan saat ia mulai melanjutkan ceritanya, terdengar serunya Amri dari atas.
“Ra, kotak obatnya mana? Nggak ketemu ne.”
“Urgh, bentar ya Ras.” Sierra menyandarkan sapu di dinding, kemudian berlari kecil menaiki satu per satu anak tangga. Sunyi benar ruangan ini, saat hanya ada satu nyawa tengah sibuk mengusir debu. Saat aku membalikkan badan setelah urusanku dengan sebuah gucci selesai, aku tersentak dan hampir saja berteriak. Betapa pelan dan tenangnya sosok itu masuk kemari. Hingga aku sama sekali tidak menyadari kedatangannya.
“
“Aku bisa sendiri kok. Aku nggak mau ngrepotin kamu.”
“Eh, Ras. Dengerin aku deh, yang namanya temen apalagi se-gank semua hal dikerjakan bersama. Jadi sudah seharusnya kalau kita tuh saling batu.” Aku tersenyum mendengar rentetan kalimatnya.
“Ras, sebenarnya kamu tuh kalau senyum manis juga lho. Harusnya kamu lebih banyak senyum daripada murung. Biar kamu bisa nambah temen.”
“Enak aja, kamu pikir aku nggak punya temen apa?! Sebenarnya temenku banyak, Cuma kamu aja yang nggak tau.”
Jauh dari perkiraanku sebelumnya, ternyata Adam pria yang baik, sopan dan supel. Hanya aku saja yang belum begitu memahaminya.
Jarum jam terpendek telah bergeser satu angka, saat kami para 4ever berkumpul di ruang bawah tanah. Amri sang ketua segera membuka rapat. Dan pokok permasalahan kali ini adalah nama 4ever.
“Kalau dulu
Semuanya tentu setuju. Tapi masalahnya tidak gampang mencari nama baru yang cocok untuk kami. Meskipun muncul banyak ide, kebanyakan ngawur. Hingga haripun berganti.
“Am, emangnya namanya Burger aja. Burger itu begitu berarti, apalagi kalau dagingnya ditebelin, ditambah daun selada, trus sausnya yang puedes. Yummi, cocok banget Am.”
“Cocok buat lu. Nah kita? Ya sebenarnya nggak perlu pake bahasa inggris, tapi ya terserah deh. Mo pake bahasa
“Asal bukan bahasa isyarat, iya nggak.” sekali Toto membanyol, seterusnya akan bermunculan banyolan yang lain. Dan ditengah guraukan mereka, muncul sebuah ide menarik dari seorang pria yang duduk di sampingku. Semuanya kembali hening.
“Gimana kalau namanya ‘Eternity’? eh bukan, ‘The Eternity Gank’ kami saling pandang lalu tersenyum.
Senja yang indah. Aku enggan melewatkannya. Dari belakang markas aku bisa menikmati pergantian siang menjadi malam indahnya. Tapi untuk senja kali ini, aku membagi kenikmatannya dengan seorang pria yang selama beberapa hari ini telah menempati ruang kosong dalam hatiku. Yang membantuku menemukan inspirasi untuk menulis. Dia membuatku semangat dan menjadi gadis periang hingga semua orang tidak akan lagi menganggapku kuper. Bahkan tidak hanya senja ini, di senja-senja yang lainpun aku rela jika harus membaginya kembali. Asal hanya dengan pria ini, Adam.
“Kamu suka banget ya, ngliatin warna langit sore begini?”
“He-eh. Aku suka banget. Dulu aku sering nulis disini, tapi sekarang aku disini Cuma sekedar nikmatin fenomena yang nggak bikin penikmatnya bosen. Kamu sadar nggak sih, itu tuh indah banget.” Dari sudut mataku aku lihat Adam memandangiku.
“Ras, makasih ya. Kamu dah nunjukin macam-macam hal menarik buat aku. Kira-kira apa yang bisa aku lakukan buat ngebales semua kebaikan kamu?”
“Eit, tunggu-tunggu. Kamu ni ngomong apa sih? Justru aku yang harusnya berterima kasih sama kamu.” Pria itu menatapku lekat. Seakan memamerkan satu lagi fenomena menarik yang dia punya. Lengkungan didahinya yang memukau. Dan aku melanjutkan kembali kata-kataku. Mencoba berusaha agar tidak terdengar bergetar, biar dadaku saja tak menentu iramanya.
“Ya karena secara tidak langsung kamu dah ngerubah kehidupan aku dan kamu juga yang ngasih warna pada hitam putih hariku. Sampai sekarang aku bisa nulis lagi.”
“Ya tapi coba kamu jawab dulu, hal apa yang lagi kamu pengen sekarang?” aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Kembali menerawang menikmati warna senja yang sebentar lagi akan hilang di ufuk barat
“Kamu suka banget senja itu?” aku menoleh kearahnya, kemudian mengangguk. Adam tersenyum, bangkit dan mengambil sebuah gunting di saku jaketnya. Kemudian memainkannya di depan senja. Sesaat dia menoleh padaku yang termangu, setelah kembali duduk disampingku. Tiba-tiba direngkuhnya jemariku, ditaruhnya sesuatu dan digenggamkannya.
“Potongan senja ini khusus buat kamu. Kamu harus simpen baik-baik jangan sampai hilang.” mendengarnya barusan, aku semakin bingung.
“Ya emang abstrak, tapi justru itu nggak akan ada orang yang bisa ngambil ini dari kamu. Dan supaya nggak ada juga yang bisa ngambil kamu dari aku…” bagai menemukan oase di tengah gurun pasir. Seorang Adam, yang selama ini diam-diam aku kagumi. Bisa dibayangkan betapa kisruhnya hatiku. Rasanya dibagian yang terdalam ada yang tengah bersorak, melompat-lompat kegirangan. Apalagi setiap hari semakin dekat saja aku dengannya. Hingga ‘The Eternity Gank’ yang lain mulai mencium gelagat kami. Dan pada suatu hari di ruang bawah tanah. Telah diselenggarakan sidang paripurna dengan dua tersangka, yaitu aku dan Adam. Sudah bisa ditebak, apa yang mereka inginkan dengan diadakannya sidang dadakan ini. Penjelasan akan perasaanku dan Adam. Karena begitu lengkapnya bukti dan saksi mata, kami tidak mungkin lagi mengelak. Hingga tepat pada hari itulah untuk pertama kalinya aku mengutarakan perasaanku pada seorang pria. Tapi aku memang terlalu polos. Meski sudah terjadi perubahan tetap saja aku masih selugu yang dulu. Aku terlalu percaya diri bahwa Adam juga merasakan hal yang sama seperti aku. Ternyata jawabannya berbeda, dan sama sekali tidak pasti.
“Aku akan kasih kamu jawabannya, tapi nggak sekarang. Apa kamu mau nunggu?”
“Berbelit-belit amat she, Dam. Udah langsung aja, tinggal bilang iya tidak gitu doank repot amat. Mo nunggu sampai kapan, kasihan Laras tuh.”
“Ssst…sst…mesin giling. Diem!”
“Maafin aku, Ras. Aku Cuma mau kamu nunggu sampai aku balik dari
“
“Aku lupa bilang sama kalian kalau besok aku balik ke
Pagi ini cerah. Aku enggan beranjak dari tempat tidur. Rasanya malas, setelah semalam pesta kembang api menyambut tahun baru. Apalagi untuk menyaksikan kepergian Adam. Sampai Toto menjemputku untuk upacara perpisahan di markas. Seakan tak tahan lagi mereka berlama-lama di pelupuk mataku, maka meneteslah satu demi satu. Tentu aku tidak siap melepas Adam, karena sebelumnya dia tidak pernah cerita apa-apa tentang keluarganya. Juga kakak perempuannya yang akan tunangan. Tapi aku sadar bahwa aku tidak berhak mencegahnya pergi. Kami, ‘The Eternity Gank’ mengantarnya sampai bandara, hingga sebuah mesin raksasa membawanya terbang jauh meninggalkan
“Kamu cengeng. Aku ja, kita sama. Maaf sepertinya aku menyiksamu, tapi hati kecilku menyuruhku begitu. Kamu sendiri yang bilang, kalau yang paling jujur adalah hati.”
“Aku ngerti. Aku akan nunggu kamu sampai kamu kembali.” dia tersenyum.
“Senja kita mana?”
“
“Bagus. Simpan baik-baik, kita bisa kembali menikmatinya lagi nanti.” kami tersenyum. Layaknya sebuah kontes, mencari siapa yang punya lesung pipit paling indah. Dijabatnya erat satu demi satu ‘The Eternity Gank’ sebelum dia melangkah lagi. Di luar bandara kami dapat menyaksikan sebuah mesin raksasa bertittle Adam Air boeing 747 membawa Adam terbang menuju
Dua hari setelah keberangkatan Adam. Suasana markas tidak lagi seperti dulu. Tak lagi kutemukan keceriaan khas ‘The Eternity Gank’. Entah apa yang disembunyikan teman-teman dariku. Semangat yang ada dalam diri mereka lenyap sudah. Yang aku lihat adalah orang-orang lemah yang terkulai tak berdaya. Apa mungkin mereka mengadakan puasa masal?
“Kenapa kalian?” tanyaku pelan. Membuat mereka saling pandang, dan Sierra malah menangis dipelukan kekasihnya.
“Ini nggak bisa didiemin. Laras harus tahu apa yang terjadi. Laras berhak tahu.”
“Bono benar, Am. Laras
“Oke oke. Laras akan segera tahu.” Amri bergeser duduk disampingku. Yang lain juga mendekatiku hingga aku bertambah bingung. Amri melanjutkan kalimatnya kembali. Yang terakhir, tepat pada kalimat yang terakhir. Aku baru sadar kenapa mereka berubah sedrastis ini.
“Kamu inget pesawat Adam Air yang terbang di atas kepalamu waktu kita keluar bandara setelah mengantar Adam,
“Ya, biarin aja yang penting Adam-ku nggak apa-apa
“Tolong cobalah menerima kenyataan. Kami hanya ingin kamu siap, kalau-kalau Adam tidak mampu menepati janjinya nanti. Kalau ingin jawaban darinya akan sangat terlambat. Dan kamu harus menunggu lebih lama lagi…” dibagian inilah. Aku mulai merasa seluruh tubuhku bergetar. Hingga semuanya berubah menjadi gelap.
Dua minggu lebih Adam menghilang entah kemana. Semua orang mencarinya juga orang-orang yang bernasib sama sepertinya. Hari ini Adam genap berusia 18 tahun. Semuanya sudah siap berpesta. Sengaja aku tidak pulang ke rumah. Aku ingin disini menunggu Adam. Siapa tau ada keajaiban hingga tiba-tiba dia muncul dari ruang bawah tanah. Satu harapanku, kuucapkan di bawah senja sembari mengenggam potongan senja yang pernah diberikannya. Andai Adam-ku selamat, segera kembalikan dia dalam pelukan kami. Dan andai sebaliknya, maka terimalah dia di tempat yang terindah. Seperti tempat yang dia huni tepat di hati kami. Amin.
16 Januari 2007